Masa Bujangan Yang Penuh Karya dan Makna

Arjuna mencari cinta. Itulah
sebuah ungkapan yang tepat buat para bujangan. Dalam pewayangan, Arjuna memang
menjadi symbol lelaki tampan yang penuh pikat. Pesonanya memancar kuat. Sangat
memukau. Ditambah kepribadiannya yang santun. Menjadikan setiap wanita harus
bertekuk lutut di hadapannya. Tidak ada alas an bagi para wanita untuk tidak
jatuh cinta kepadanya.


Tapi itu Arjuna. Bukan kita.
Dunia Arjuna adalah dalam pewayangan. Sedang kita ada dalam the real life.
Tentu berbeda. Makanya, jangan bermimpi menjadi Arjuna. Atau begini, kalau
ingin menjadi Arjuna, ya di mimpi saja.


Bujangan, istilah kerennya
jomblo. Animonya adalah hidup yang masih bebas, lepas dan tanpa batas. Laksana
burung yang terbang di alam terbuka, bisa hinggap di setiap dahan dan ranting
yang diinginkan. Bisa mencicipi bunga mana saja. Mawar, melati, anggrek,
angeliur, dan semuanya, sesuka hati tanpa ada yang melarang.


Satu hal yang perlu disadari,
sudah sunnatullah semua makhluk diciptakan berpasangan. Artinya ada kebutuhan
lahir maupun batin manusia yang itu hanya bisa dirasakan ketika dirinya
menjalin pasangan dengan seseorang. Contohnya, rasa damai, pengayoman,
perhatian sampai urusan hasrat seksual. Akan tersalurkan jika telah bersama pasangan.
Khawatirnya salah dalam menyaurkan fitrah dan naluri berpasangan ini. Pacaran
pun ditempuh. Ada juga yang tidak mau disebut pacaran tapi ‘pacaran’ TTM (teman
tapi mesra) istilah kininya.


Makanya orang cenderung merasa
tenang, senang, damai, tenteram saat bersama dengan pasangannya. Fitrah ini
namanya. Karena memang semua tercipta berpasangan. Sebagaimana Firman Allah
berikut ini:


“Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
” (QS. Adz
Dzariyat: 49)


Hidup membujang, antara pilihan
dan keterpaksaan. Ada orang yang membujang karena belum dapat pasangan.
Sebenarnya hati sudah sangat ingin menikah, mental ok, materi ada, tapi apalah
daya jika jodoh tak kunjung tiba. Ada juga yang memang belum siap secara mental.
Materi ada, calon di depan mata, namun belum berani menikah, ya tidak bisa
dipaksa. Ada yang memang belum siap materi, lau bertekat untuk mengejar karir
lebih dahulu. Ada juga yang memang belum ingin menikah, tanpa alas an yang
jelas dan pasti.


Apapun alasan membujang, that’s
ok
. Namun peru orientasi yang jelas dari keputusan untuk tidak menikah dulu.
Agar masa tersebut menjadi penuh makna. Tidak sia-sia begitu saja.


Bagaimana cara mengoptimalkan
waktu bujangan ? mari belajar kepada orang yang berpengalaman dan berhasil
dalam pengalamannya. Siapa lagi jika bukan para ulama kita. Tentu mereka pernah
melewati masa bujangan. Bahkan tidak sedikit dari ulama kita yang memutuskan
untuk membujang, baik sementara maupun selamanya. Bukan karena mereka tidak mengetahui
hokum menikah dalam Islam, bahkan mereka menulis masalah anjuran untuk menikah
dalam kitab-kitab mereka. Mereka juga tidak menyampaikan pendapat bahwa
membujang lebih utama dari pada menikah, atau ungkapan-ungkapan pembenaran
tentang sikap yang mereka pilih, membujang. Dalam pandangan mereka, menikah
tetap menjadi ajaran dan syari’at Rasulullah.


Dari merekalah tentunya kita
perlu belajar, bagaimana cara mengoptimalkan dan mengisi waktu saat bujangan,
baik bagi yang bujangan atau yang sengaja membujang.


Diantara mereka ada yang memang
tidak menikah seumur hidup. Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H) contohnya.tentu
kita semua tahu, beliau adalah ulama yang menulis kitab tafsir klasik pertama
kali, yang kemudian dikenal dengan nama Tafsir ath-Thabari (Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil al-Qur’an). Beliau seorang ulama multi keilmuan. Seorang ahli tafsir,
ahli hadits, ahli fiqih, ahli qiro’ah, ahli sejarah, ahli bahasa, ahli sastra,
ahli sya’ir, ahli matematika, ahli kedokteran, dengan karya yang melimpah ruah.


Beliau menyelesaikan hafalan
al-Qur’an di usia tujuh tahun, mulai menjadi imam shalat di usia delapan tahun,
meriwayatkan hadits di usia Sembilan tahun, dan memulai pengembaraan mencari
ilmu di usia dua belas tahun. Beliau pernah memotong kain bajunya untuk dijual
dan dibelikan makanan saat kiriman dari orang tuanya terlambat datang.


Seluruh hidupnya diperuntukkan
di jalan ilmu. Usianya yang delapan puluh enam tahun, jika dibagi dengan jumlah
lembaran karya ilmunya, dan dihitung sejak usia balighnya, maka rata-rata
setiap harinya beliau menuliskan ilmu sebanyak empat belas lembar. Sangat luar
biasa.


Beliau mendatangi setiap pintu
rumah ulama besar untuk mendapat ilmu dari mereka. Mulai dari Baghdad,
Khurasan, Iraq, Syam, Mesir, serta seluruh wilayah Islam hari itu. Benar-benar
semangat dalam menuntut ilmu.


Suatu ketika, Imam ath-Thabari
berkata kepada teman-temannya,”Maukah kaian mempelajari tafsir?” mereka
menjawab,”Berapa tebal kitabnya?” beliau menjawab,” Tiga puluh ribu halaman.”
Mereka berkata,” Itu akan menghabiskan umur kami.” Kemudian beliau ringkas
kitab tersebut menjadi tiga ribu lembar, dan mendiktekan isinya kepada
murid-muridnya selama tujuh tahun, dari tahun 283- 290 H.


Lihatlah, betapa sibuknya Imam
ath-Thabari dengan rutinitas ilmunya. Jiwanya telah mersa kenyang dengan
ilmunya, sehingga tidak mencari pengenyang jiwa pada selainnya. Bujangan, tapi
hasil karyanya jelas.


Ada juga ulama yang hanya
menunda waktu untuk menikah, memilih membujang dengan batasan waktu untuk
membekali diri dengan ilmu. Imam Ahmad bin Hanbal contohnya. Imam Ibnu al-Jauzi
dalam kitabnya, Shaidu al-Khatir (hal. 177, pasal 121), menulis bahwa Imam
Ahmad menunda menikah sampai genap usianya empat puluh tahun untuk konsentrasi
mencari ilmu. Begitu usianya genap empat puluh tahun, ilmunya mendalam, karya
yang dihasilkan jelas, baru menikah. Bujangan, tapi berprestasi.


Umar bin Khattab pernah
menyampaikan, “Tafaqqohu qobla antasuuduu” (Shahih Bukhari, 1/151). Tafaqqohu
artinya belajarlah ilmu (fiqih). Sedangkan kata tasuudu bisa berarti menikah,
bisa juga berarti memimpin (menjadi pemimpin). Dua-duanya bisa. Karena setelah
menikah, tentu seseorang akan menjadi pemimpin bagi keluarganya.


Mengenai ungkapan Umar diatas,
al-Murtadho az-Zabidi dalam kitab Taaj al-‘Aruus 92/358) mengatakan,”Pelajariah
fikih sebelum kalian menikah dan menjadi tuan dirumah kalian lantaran (menikah)
akan menyibukkan kalian dari ilmu.”


Beginilah kira-kira langkah
yang harus kita tempuh saat meretas masa bujangan. Full power untuk membekali
diri dengan ilmu. Banyak mengkaji imu, baik sendiri ataupun dengan menghadiri
majelis-majelis ilmu, serta melahirkan karya-karya besar. Bukan malah
sebaliknya, bersenang-senang saja, merasa bebas tanpa tanggung jawab di masa
depan, menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting dan bahkan sia-sia.


Banyak orang bujangan, bahkan
memilih membujang, namun kualitas masa bujangan yang mereka lewati berbeda,
karena apa yang mereka lakukan saat membujang tidak sama.


Bujangan ataupun yang memang
membujang. Apapun alasan yang kita buat untuk tidak menikah dulu tidak ada
masalah. Sah-sah saja. Karena itu pilihan. Namun harus produktif dan optimal
dalam berilmu dan menelurkan karya-karya besar.


Mumpung masih bujangan,
belajarlah sedalam-dalamnya. Mumpung masih sendiri, berkaryalah sebanyak-banyaknya.
Jadikan diri Anda berkualitas sehingga Allah mengkaruniakan istri yang juga
berkualitas. Dengan begitu, akan lahir dari keluarga Anda kelak
generasi-generasi yang berkualitas.[]