Pengembangan Sikap Empati Sosial dan Bertoleransi atau Saling Menghargai dalam Keberagaman Budaya dan Masyarakat yang Majemuk dan Multikultural di Indonesia

Berikut ini akan dijelaskan tentang keragaman budaya, sikap menghargai keberagaman, contoh sikap empati, contoh toleransi, sikap toleransi, sikap empati, keragaman suku bangsa, keberagaman budaya, apa hubungan persatuan dan keberagaman, sebaran keragaman budaya nasional, masalah keberagaman budaya, bagaimana menyikapi keragaman sosial di suatu wilayah, keragaman budaya indonesia, keberagaman budaya indonesia, keberagaman budaya di indonesia, toleransi, toleransi beragama, toleransi antar umat beragama, toleransi budaya, sikap toleransi dalam kehidupan sehari hari, apa hubungan persatuan dan keberagaman, bertoleransi dalam keberagaman, integrasi sosial, masyarakat majemuk, masyarakat multikultural.

Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman Budaya di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, para pendiri negara telah menyadari akan arti pentingnya pengembangan kerangka nilai atau etos budaya yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. 

Kesadaran tersebut dituangkan dalam UUD 1945, Pasal 32 yang berbunyi,”pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. 

Hal tersebut diperkuat dalam penjelasan UUD 1945, ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. 

Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak di daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. 

Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok suku, agama, daerah, dan ras yang beraneka ragam. Hal ini merupakan ciri khas masyarakat Indonesia sehingga Indonesia disebut sebagai masyarakat majemuk.

Pada beberapa kelompok adat yang ketat, membedakan antarwarga dengan bukan warga. Kehadiran orang asing dilalui dengan mengadakan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau musuh. 

Hal tersebut tercermin dalam upacara penyambutan pejabat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para tamu tersebut biasanya disambut dengan upacara adat yang memperjelas kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat Batak yang terikat dalam hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na tolu). 

Pada adat perang suku Dani di pegunungan Jayawijaya, di luar kelompok kerabat patrilineal, hubungan kekerabatan berasal dari kelompok sosial yang sangat kuat sehingga untuk mempermudah perlakuan terhadap orang asing maka upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap tamu asing yang dihormati. 

Selain itu, di masa lampau, untuk mensahkan kewenangan Gubernur Jenderal van Imhoff sebagai wakil ratu, Belanda mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram. 

Beliau diberi gelar sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal untuk menunjukkan senioritas dalam struktur sosial.

Pengembangan Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keberagaman Budaya di Indonesia

Untuk memelihara kesetiakawanan sosial maka suatu kelompok suku bangsa biasanya mengembangkan simbol-simbol yang mudah dikenal, seperti bahasa, adat istiadat, dan agama. 

Setiap suku bangsa tersebut merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu. Simbol ini diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya dan berfungsi sebagai media untuk memperkuat kesetiakawanan sosial mereka.

Di Indonesia terdapat suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat dalam interaksi lintas budaya secara serasi sehingga melahirkan suku-suku bangsa baru. 

Ini merupakan hasil amalgamasi atau asimilasi budaya. Salah satu bentuk amalgamasi budaya yang melahirkan suku bangsa baru adalah yang terjadi di Batavia. 

Penduduk Batavia yang berdatangan dari berbagai tempat dengan memiliki keanekaragaman latar belakang kebudayaan tersebut berhasil dipersatukan dalam kebudayaan Betawi yang dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923.

Selanjutnya, setiap kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada menanggalkan simbol-simbol kesukuan mereka dan mengembangkan simbol-simbol kesukuan baru serta memilih agama Islam sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial.

1. Proses Integrasi Budaya

Pada masa pendudukan Jepang juga terjadi proses integrasi budaya di Indonesia. Jepang yang berusaha meraih simpati dari rakyat Indonesia, dengan mensahkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari.

Pengaruh kebijakan tersebut sangat besar dalam pengembangan budaya kesetaraan pada masyarakat Indonesia. 

Keputusan Jepang untuk memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi tersebut bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan melainkan juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial, yaitu pemakaian bahasa Belanda pada masa penjajahan Belanda.

Jasa lain penjajah Jepang yang tidak boleh diabaikan adalah pembentukan organisasi rukun tetangga (RT) sebagai organisasi sosial di tingkat lokal. 

Tujuannya untuk mempersatukan segenap warga masyarakat tanpa memandang asal usul kesukuan, golongan, dan latar belakang kebudayaan. 

Konsep ketetanggaan tersebut akan memainkan peranan penting dalam menciptakan wadah sosial yang dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warga, bebas dari kecurigaan, dan prasangka etnik, ras, dan golongan.

2. Sikap Toleransi dan Empati terhadap Keberagaman Budaya

Agar menghindarkan kecenderungan dominasi suatu suku bangsa terhadap suku bangsa lainnya maka harus ditingkatkan rasa toleransi dan empati terhadap keberagaman Indonesia. Misalnya, proyek pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah dibatalkan. 

Apabila proyek ini dilaksanakan dapat menjurus ke arah dominasi kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan kepada suku Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang sesuai dengan arus pembangunan.

3. Penerapan Pendekatan Multikultural

Pengembangan model pendidikan yang menggunakan pendekatan multikultural sangat diperlukan untuk menanamkan nilainilai pluralitas bangsa. 

Sikap simpati, toleransi, dan empati akan tertanam kuat melalui pendidikan multikultural. Masyarakat menyadari akan adanya perbedaan budaya dan memupuk penghayatan nilai-nilai kebersamaan sebagai dasar dan pandangan hidup bersama.

Melalui pendidikan multikultural, sejak dini anak didik ditanamkan untuk menghargai berbagai perbedaan budaya, seperti etnik, ras, dan suku dalam masyarakat. 

Keserasian sosial dan kerukunan pada dasarnya adalah sebuah mozaik yang tersusun dari keberagaman budaya dalam masyarakat. 

Melalui pendidikan multikultural, seorang anak dididik untuk bersikap toleransi dan empati terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat. 

Kesadaran akan kemajemukan budaya dan kesediaan untuk bertoleransi dan berempati terhadap perbedaan budaya merupakan kunci untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Penerapan sikap toleransi dan empati sosial yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat akan mencegah terjadinya berbagai konflik sosial yang merugikan berbagai pihak.