Pengertian, Contoh, Faktor Penyebab, Pendorong dan Penghambat Terjadinya Proses Asimilasi, Akulturasi, Difusi, Inovasi, Discovery, Invention Dalam Konsep Dinamika Perubahan Sosial Budaya

Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor penyebab perubahan sosial , perubahan budaya, perubahan kebudayaan, perubahan sosial budaya, faktor pendorong perubahan sosial, faktor perubahan sosial, faktor pendorong perubahan sosial budaya, faktor faktor penyebab perubahan sosial, penyebab perubahan sosial budaya, proses terjadinya perubahan sosial, proses perubahan sosial budaya, perubahan sosial budaya pada masyarakat, konsep dinamika kebudayaan, dinamika kebudayaan, asimilasi, asimilasi budaya, asimilasi kebudayaan, faktor pendorong terjadinya asimilasi, faktor penghambat terjadinya asimilasi, akulturasi, akulturasi budaya, contoh akulturasi budaya, contoh akulturasi kebudayaan, difusi kebudayaan, difusi budaya, Inovasi budaya, discovery, invention.

Konsep Dinamika Kebudayaan

A. Asimilasi

Menurut Soerjono Soekanto, asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antarindividu atau kelompok-kelompok masyarakat yang meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan perilaku, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan tujuan dan kepentingan bersama. 

Artinya, apabila individu melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau masyarakat maka tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut. Secara singkat proses asimilasi adalah peleburan dua kebudayaan menjadi satu kebudayaan. 

Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan karena banyak faktor yang memengaruhi suatu budaya itu dapat melebur menjadi satu kebudayaan. 

Adapun faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi, antara lain Proses asimilasi bisa berlangsung apabila ada faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses tersebut. 

Misalnya, adanya toleransi dan simpati antara kelompok masyarakat. Beberapa faktor Pendorong terjadinya asimilasi, antara lain sebagai berikut.

  1. Adanya perbedaan di antara masing-masing pendukung kebudayaan sehingga kedua pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut mempunyai kepentingan saling melengkapi unsur kebudayaan masing-masing.
  2. Adanya sikap menghargai budaya dan orang asing serta mau mengakui kelebihan dan kekurangan unsur kebudayaan masingmasing dalam proses interaksi sosial.
  3. Sikap keterbukaan pihak yang berkuasa untuk memberikan akses yang seluas-luasnya dalam bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat bagi kelompok masyarakat pendatang atau minoritas.
  4. Adanya perkawinan campuran antara masyarakat setempat dengan masyarakat pendatang atau asing. Perkawinan campuran dapat terjadi di antara dua kebudayaan yang berbeda. Misalnya, perkawinan antaretnik atau antarbangsa.
  5. Adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan dalam kelompok masyarakat asing dan penduduk setempat sehingga menyebabkan warga masyarakat kedua kelompok tersebut merasa lebih dekat satu sama lain.

Adapun faktor-faktor Penghambat terjadinya asimilasi, antara lain sebagai berikut.

  1. Tidak adanya sikap toleransi dan simpati antara masyarakat asing dan penduduk setempat karena kurangnya pemahaman terhadap kebudayaan kelompok lain.
  2. Perasaan superioritas (lebih unggul) dari individu-individu dari suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Misalnya, terhambatnya proses integrasi sosial antara pihak penjajah Belanda dan rakyat Indonesia pada masa penjajahan karena pihak penjajah Belanda merasa mampu menguasai dan mengalahkan rakyat Indonesia.
  3. Terisolasinya suatu kelompok masyarakat sehingga menghambat terjadinya interaksi sosial budaya dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok masyarakat yang terisolir akan mengembangkan pemahaman yang berbeda terhadap kebudayaan kelompok masyarakat luar yang dianggap asing.
  4. Adanya ingroup feeling atau perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kelompok sosial atau suatu kebudayaan kelompok tertentu. Misalnya, sulitnya terjadi asimilasi antara warga keturunan Tionghoa dengan penduduk setempat karena warga Tionghoa merasa sangat terikat pada budaya dan ikatan sosial sesama warga Tionghoa di Indonesia.
  5. Rasa takut terhadap kebudayaan kelompok masyarakat lain yang dianggap dapat merusak dan mengurangi kemurnian budaya masyarakat setempat. Sikap ini timbul di dalam kelompok masyarakat pedalaman yang berusaha untuk menutup kontak sosial dengan kelompok masyarakat lain. Misalnya, upaya pembatasan kontak sosial yang dilakukan kelompok masyarakat Baduy terhadap kelompok masyarakat lainnya.

Proses asimilasi mengenal adanya beberapa fase, antara lain sebagai berikut.

  1. Reaksi, yaitu timbulnya gerakan atau perasaan penolakan terhadap asimilasi dengan penekanan pada faktor psikologis.
  2. Acceptance, yaitu asimilasi yang berhasil dari pola tingkah laku dan nilai dari suatu kebudayaan baru oleh individu atau kelompok.
  3. Adaptasi, yaitu kombinasi dari sifat atau perangai asli dan asing, baik di dalam keseluruhan harmonis maupun dengan tetap mengingat berbagai sikap yang berbeda.

B. Akulturasi

Menurut Koentjaraningrat, akulturasi dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. 

Proses akulturasi sudah terjadi sejak zaman dahulu. Migrasi antara kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda telah menyebabkan individu dalam kelompok tersebut mengenal kebudayaan asing. 

Proses akulturasi yang berlangsung dengan baik dapat menghasilkan integrasi unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Pada umumnya, unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima masyarakat, antara lain sebagai berikut.

  1. Unsur kebudayaan tersebut terbukti membawa manfaat besar, seperti radio transistor yang banyak membawa kegunaan sebagai sumber informasi dan telepon seluler yang mempermudah komunikasi tanpa terbatas ruang dan waktu.
  2. Unsur kebudayaan kebendaan seperti peralatan yang sangat mudah dipakai dan banyak dirasakan bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Misalnya, alat tulis-menulis yang banyak digunakan orang Indonesia yang diambil dari unsur kebudayaan Barat.
  3. Unsur kebudayaan yang mudah menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur tersebut, seperti mesin penggiling padi dengan biaya murah dan pengetahuan teknik yang sederhana yang dapat digunakan untuk melengkapi penggilingan padi.

Pada umumnya, unsur-unsur kebudayaan asing yang sulit diterima oleh masyarakat penerima, antara lain sebagai berikut.

  1. Unsur kebudayaan yang menyangkut sistem kepercayaan, seperti ideologi dan falsafah hidup.
  2. Unsur kebudayaan yang dipelajari pada taraf pertama dari proses sosialisasi seperti konsumsi roti sebagai makanan pokok pengganti nasi. Nasi sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia sulit sekali digantikan dengan makanan pokok yang lain.

Bangsa Indonesia telah mengalami kontak dengan kebudayaan asing, yaitu dengan kebudayaan Hindu-Buddha pada abad ke-1. 

Dengan budaya Islam abad ke-12 sampai ke-15 dan dengan kebudayaan Barat pada abad ke-17 sampai ke-20. Dalam kontak dengan kebudayaan asing tersebut lahir akulturasi budaya Indonesia- Hindu, Indonesia-Islam, dan Indonesia-Barat.

Umumnya, generasi muda merupakan individu yang cepat menerima unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya, generasi tua dianggap sebagai golongan yang sulit sekali menerima unsur-unsur baru. 

Hal ini disebabkan karena norma-norma tradisional sudah mendarah daging sehingga sulit sekali untuk mengubah norma-norma yang sudah meresap dalam jiwa generasi tua tersebut. 

Sebaliknya, belum menetapnya unsur-unsur atau norma-norma tradisional dalam jiwa generasi muda mengakibatkan mereka lebih mudah menerima unsur-unsur baru yang kemungkinan besar dapat mengubah kehidupan mereka.

Pada masyarakat yang terkena proses akulturasi selalu ada kelompok atau individu yang sukar sekali atau bahkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. 

Perubahan dalam masyarakat dianggap oleh golongan tersebut sebagai keadaan krisis yang membahayakan keutuhan masyarakat. 

Apabila mereka merupakan golongan yang kuat maka kemungkinan proses perubahan dapat ditahannya. Sebaliknya, jika mereka berada di pihak yang lemah maka mereka hanya akan dapat menunjukkan sikap yang tidak puas terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya.

Proses akulturasi yang berjalan dengan baik dapat menghasilkan integrasi dari unsur kebudayaan asing dengan unsur kebudayaan masyarakat penerima. 

Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak dirasakan lagi sebagai hal yang berasal dari luar, tetapi dianggap sebagai unsur kebudayaan sendiri. Unsur asing yang diterima tersebut, tentunya terlebih dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidak asli lagi. 

Misalnya, sistem pendidikan di Indonesia sebagian besar diambil dari unsur kebudayaan Barat yang sudah disesuaikan serta diolah sedemikian rupa sehingga mengandung unsur kebudayaan sendiri. 

Tidak mustahil timbul kegoncangan kebudayaan (cultural shock) sebagai akibat masalah yang dijumpai dalam proses akulturasi. 

Kegoncangan terjadi apabila warga masyarakat mengalami disorientasi dan frustasi sehingga muncul perbedaan yang tajam antara cita-cita dan kenyataan yang disertai dengan terjadinya perpecahan di dalam masyarakat tersebut.

C. Difusi

Difusi merupakan penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang terjadi melalui pertemuan-pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok dengan individu dalam kelompok lainnya. Ada tiga cara penyebaran kebudayaan ini, yaitu simbiotik, penetration pacifique, dan penetration violence.

1. Simbiotik

Simbiotik adalah hubungan antarkelompok yang tidak memengaruhi bentuk kebudayaan masing-masing kelompok. Misalnya, hubungan antara suku-suku peladang Kongo, Togo, dan Kamerun dengan suku peladang suku bangsa negrito dalam berdagang.

2. Penetrasi Pasifik

Suatu unsur kebudayaan asing dengan tidak disengaja masuk ke dalam kebudayaan penerima tanpa melalui paksaan atau dilakukan dengan cara damai disebut penetrasi pasifik.

Hal itu disebabkan kebudayaan pendatang dianggap lebih baik, lebih tinggi, dan lebih sempurna sehingga pengaruh tersebut secara perlahan-lahan mendapat dukungan dari masyarakat penerima kebudayaan tersebut.

Jika dalam masyarakat penerima tidak terjadi kegoncangan kebudayaan sebagai akibat masuknya kebudayaan luar, kebudayaan luar akan bersatu dengan kebudayaan masyarakat penerima sehingga keduanya saling bersatu secara terpadu.

Misalnya, masuknya kebudayaan Hindu–Buddha dan Islam ke Indonesia. Masyarakat Indonesia dapat menerima kebudayaan tersebut tanpa paksaan, bahkan bersedia meniru serta menyesuaikan dirinya dengan kebudayaan tersebut.

3. Penetrasi Violente

Masuknya kebudayaan melalui cara paksaan disebut penetrasi violente. Misalnya, adanya peperangan atau penjajahan yang dapat merusak kebudayaan penerima dan dapat menimbulkan kegoncangan pada masyarakat yang dijajah. Akibatnya, unsur kebudayaan penerima menjadi hilang.

D. Inovasi, Discovery dan Invention

Inovasi, discovery, dan invention adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan penemuan teknologi baru. Inovasi adalah suatu proses pembaruan penggunaan sumber-sumber alam, energi, modal, pengaturan, tenaga kerja, teknologi, sistem produksi, maupun produk baru melalui proses discovery dan invention. 

Discovery adalah suatu penemuan dari suatu kebudayaan yang baru, baik yang berupa suatu alat baru maupun ide yang diciptakan individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. 

Invention (invensi) adalah apabila suatu discovery dapat diterima, diakui, dan diterapkan oleh masyarakat secara luas. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga faktor yang mendorong seseorang mengembangkan penemuan baru, antara lain:

a. kesadaran para anggota masyarakat akan kekurangan dalam unsur kebudayaannya;

b. mutu dari keahlian kebudayaan;

c. sistem perangsang bagi aktivitas mencipta atau menemukan dalam masyarakat.

Contoh perkembangan penemuan baru dalam masyarakat adalah perkembangan teknologi telepon seluler atau handphone.

Teknologi telepon mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada awalnya telepon selluer hanya digunakan sebagai pesawat telepon portabel yang mudah penggunaannya. 

Penemuan teknologi telepon seluler merupakan perkembangan teknologi yang akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perkembangan teknologi telepon di Indonesia pada tahun 1990-an tidak bisa dilepaskan dari penggunaan telepon seluler (handphone). 

Telepon seluler adalah telepon genggam yang mudah dibawa (portabel) dan bisa digunakan untuk melakukan pembicaraan telepon tanpa terbatas ruang dan waktu. 

Selain itu, telepon seluler juga dapat digunakan untuk mengirimkan pesan singkat atau SMS (short messaging service) berisi tulisan, gambar, atau video. 

Pada awalnya berbagai jenis telepon seluler yang dipasarkan di Indonesia hanya bisa digunakan untuk melakukan pembicaraan melalui telepon dengan sistem AMPS (advance mobile phone system). 

Namun, sistem AMPS mempunyai kelemahan, yaitu tidak mampu menjangkau daerah yang terpencil sehingga mendorong diterapkannya teknologi HP yang menggunakan sistem GSM (global stationary mobile). 

Dengan ditemukannya teknologi telepon seluler berbasis GSM, banyak daerah terpencil di Indonesia bisa menikmati fasilitas telepon seluler karena didirikannya berbagai stasiun pemancar sinyal telepon seluler yang disebut BTS (base tranceiver station) yang didirikan oleh perusahaan operator telepon seluler. 

Selanjutnya, teknologi dan fasilitas telepon seluler telah mengalami perkembangan yang sangat pesat berkat adanya penemuan teknologi canggih yang dilakukan oleh berbagai perusahaan pembuat telepon seluler. 

Pada saat ini, selain untuk melakukan pembicaraan telepon, telepon genggam generasi terbaru juga bisa digunakan sebagai radio, pemutar lagu, kamera, kamera video, dan televisi. 

Suatu discovery bisa menjadi invensi apabila masyarakat sudah meyakini, menerima, dan menerapkan suatu penemuan baru. 

Contohnya adalah penemuan pesawat terbang merupakan rangkaian penemuan sejak ditemukannya pesawat terbang bermesin oleh Wright Bersaudara pada tahun 1903. Pada saat suatu penemuan pesawat terbang menjadi invensi pada tahun 1903, proses penemuan belum selesai. 

Pesawat terbang belum inovatif karena belum merupakan satu-satunya kebutuhan masyarakat. Masih diperlukan jaringan bandar udara, pabrik pesawat terbang, penerbang, dan sekolah penerbangan. 

Selain itu, pesawat terbang juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yaitu sebagai alat angkutan orang dan barang (pesawat penumpang) dan sebagai alat untuk berperang (pesawat tempur). 

Seluruh proses penyesuaian pesawat terbang dengan keperluan masyarakat atau sebaliknya dinamakan proses inovasi.