Upaya Melestarikan Keberadaan Bahasa, Dialek, dan Tradisi Lisan dalam Masyarakat

Pada artikel yang sebelumnya telah dibahas perbedaan pengertian bahasa dan dialek. Berdasarkan sudut pandang politik, bahasa dapat didefinisikan sebagai sistem komunikasi verbal yang secara resmi telah diterima sebagai bentuk bahasa nasional, sedangkan dialek tidak memperoleh kedudukan yang istimewa sebagai bahasa baku di antara dialek-dialek lainnya di suatu negara.

Di dalam masyarakat terdapat beraneka ragam bahasa serta dialek. Berdasarkan stratifikasi atau tingkatan lingkungan sosial budayanya terdapat jenis bahasa baku, bahasa sehari-hari, slang, cant, dan jargon. 

Selain itu, terdapat pembagian bahasa berdasarkan pada aspek tempat atau geografis suatu bahasa. Sebuah ragam bahasa yang dipergunakan di suatu daerah tertentu lambat laun akan melahirkan suatu variasi bahasa yang berbeda-beda lafal, tata bahasa, dan tata artinya dengan bahasa lainnya. 

Menurut para ahli linguistik perbedaan dialek dapat dibagi menjadi lima jenis, antara lain sebagai berikut.

1. Perbedaan fonetik atau alofonetik. Perbedaan fonetik adalah perbedaan tata bunyi vokal atau konsonan suatu bahasa. 

Perbedaan tata bunyi tersebut menyebabkan pemakai suatu dialek atau bahasa tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Misalnya, tata bunyi kata cerme yang berarti buah cerme dalam bahasa Sunda, ada orang yang mengucapkan careme atau cereme.

2. Perbedaan semantik, yaitu terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi, pergeseran bentuk, dan makna kata.

Berdasarkan jenisnya, perbedaan semantik suatu bahasa dibagi menjadi dua jenis, antara lain sebagai berikut.

a. Pemberian nama yang berbeda untuk sebuah istilah yang sama di suatu daerah. Misalnya, dalam bahasa Sunda, perbedaan kata turi dan tury untuk menyebut kata pohon turi, serta balingbing atau calingcing untuk menyebut pohon belimbing. Perubahan semantik tersebut dikenal dengan istilah sinonim atau padan kata.

b. Pemberian nama yang sama untuk sebuah istilah yang berbeda di suatu daerah. Misalnya, istilah meri untuk menyebut nama itik dan anak itik dalam bahasa Sunda. Perubahan semantik tersebut dikenal dengan istilah homonim.

3. Perbedaan onomasiologis, yaitu perbedaan istilah di beberapa daerah. Misalnya, istilah menghadiri kenduri di beberapa daerah  pemakai bahasa Sunda tertentu ada yang disebut ondangan, kondangan, atau kaondangan, sedangkan di beberapa tempat lainnya disebut nyambungan. 

Perbedaan ini disebabkan adanya tanggapan atau penafsiran yang berbeda mengenai kehadiran seseorang di tempat kenduri tersebut. 

Istilah kondangan, ondangan, dan kaondangan didasarkan kepada penafsiran bahwa kehadiran seseorang pada acara tersebut adalah karena diundang oleh pemilik rumah, sedangkan istilah nyambungan didasarkan kepada penafsiran bahwa kehadiran seseorang dalam sebuah acara kenduri adalah karena adanya keinginan untuk menyumbang barang kepada orang yang mengadakan acara kenduri.

4. Perbedaan semasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep kenduri yang berbeda. Misalnya, pengucapan frase-frase rambutan Aceh, pencak Cikalong, dan orang yang berhaluan kiri yang hanya diucapkan sebagai Aceh, cikalong, atau kiri saja. 

Padahal apabila dijabarkan istilah Aceh mempunyai lima buah makna, yaitu nama suku bangsa, nama daerah, nama kebudayaan, nama bahasa, dan nama sejenis rambutan.

5. Perbedaan morfologis, yaitu perbedaan sistem tata bentuk kata.