Sistem Kepercayaan Yang Berkembang Pada Masyarakat Nias

Suku bangsa Nias mendiami Kabupaten Nias, Kabupaten Nias terdiri atas satu pulau besar yang utama dan beberapa pulau kecil yang berada di sekitarnya. 

Pulau-pulau tersebut, antara lain Pulau Hinako di sebelah barat, Pulau Senau, Pulau Lafu di bagian utara, Pulau Batu di sebelah selatan, dan pulau-pulau lain-lainnya. 

Pulau-pulau tersebut dikelilingi Samudra Hindia dan bagian pedalaman tertutup hutan sekunder dengan sungai-sungai yang relatif dangkal. 

Sebelum agama masuk ke daerah Nias, penduduk asli secara turun temurun telah mengenal sistem kepercayaan, yaitu Pelbegu, yang artinya “penyembah roh”. 

Adapun para penganutnya memberikan nama molohe adu, yang berarti “penyembah adu“. Aktivitas dalam agama ini berkisar pada penyembahan roh leluhur. 

Untuk itu mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu. Patung-patung yang dipercayai sebagai tempat roh leluhur tersebut dinamakan adu satua, dan harus dirawat dengan baik.

Menurut kepercayaan umat pelbegu, setiap orang memiliki dua macam tubuh, yaitu tubuh yang kasar disebut boto, dan tubuh yang halus, terdiri atas noso (nafas) dan lumolumo (bayangan). 

Jika orang meninggal maka badan kasar (boto) kembali menjadi debu, sedangkan badan halus (noso) kembali pada Lowalangi (Allah), sedangkan bayangan atau lumo-lumonya berubah menjadi bekhu (roh). 

Selama belum dilakukan upacara kematian, bekhu akan tetap berada di sekitar tempat pemakamannya, karena menurut kepercayaan untuk pergi ke Teteholi Ana’a (dunia roh) seseorang harus menyeberangi suatu jembatan dahulu yang dijaga ketat oleh seorang dewa penjaga dengan kucingnya (mao). 

Orang yang berdosa dan belum diupacarakan akan didorong masuk ke dalam neraka yang berada di bawah jembatan.

Umat Pelbegu mempercayai bahwa kehidupan sesudah kematian merupakan kelanjutan dari kehidupan yang sekarang, sehingga jika semasa hidupnya menjadi orang kaya yang berkedudukan tinggi maka setelah kematian pun (kehidupan di Teteholi Ana’e), keadaannya juga demikian. 

Demikian pula sebaliknya jika di dunia hidupnya miskin, maka setelah mati pun (kehidupan di Teteholi Ana’e) hidupnya juga tetap miskin. Dalam agama Pelbegu ini, dikenal adanya dewa-dewa, antara lain sebagai berikut.

  1. Lowolangi adalah dewa tertinggi dan dianggap sebagai raja segala dewa dari dunia atas.
  2. Latura Dano adalah raja dewa di dunia bawah dan merupakan saudara tua Lowolangi.
  3. Silewe Nasarata adalah dewa pelindung para (pemuka agama), merupakan istri Lowolangi.

Mitologi Nias terdapat dalam syair yang ditembangkan, yang disebut hoho, sampai kini masih sering dinyanyikan dalam pesta-pesta adat.

Menurut mitologi Nias yang termuat dalam hoho, alam segala isinya ini diciptakan oleh Lowolangi dari beberapa warna udara yang diaduk dengan tongkatnya yang disebut sihai.

Untuk menciptakan manusia, Lowolangi terlebih dahulu menciptakan pohon kehidupan yang disebut Tora’a, kemudian berbuah dua butir dan segera dierami oleh seekor laba-laba emas ciptaan Lowolangi juga. 

Dari buah yang dierami tersebut lahir sepasang dewa-dewa pertama yang bernama Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiroangi Burutiroana’a yang berjenis kelamin perempuan. 

Sepasang dewa ini menghasilkan keturunan yang menjadi penguasa langit dengan dewa Sirao Uwu Zihono sebagai rajanya. 

Dewa ini memiliki tiga istri dan masing-masing menghasilkan keturunan tiga anak, sehingga putranya berjumlah sembilan. 

Saat dewa Sirao hendak mengundurkan diri, terjadilah pertengkaran di antara kesembilan putranya tersebut. 

Untuk mengatasi pertengkaran tersebut dewa Sirao mengadakan sayembara berupa ketangkasan menari di atas mata sembilan tombak (toho) yang dipancangkan di lapangan muka istana. 

Sayembara tersebut dimenangkan oleh putra bungsunya yang bernama Luo Mewona. Untuk menenteramkan kedelapan putranya yang lain, dewa Sirao menurunkan mereka ke tanah Nias. 

Untuk menemani kakak-kakaknya itu, Luo Mewona juga menurunkan putra sulungnya yang bernama Silogu di Hiambanua Onomondra, negeri Ulu Moro’o (sekarang di kecamatan Mandrehe, Nias Barat). 

Dari kedelapan putra dewa Sirao yang diturunkan ke bumi Nias hanya empat yang berhasil selamat tiba di pulau Nias dan menjadi leluhur dari mado-mado (marga/klen) di Nias. 

Adapun putra-putra dewa Sirao lainnya tidak berhasil mendarat di Nias karena mengalami berbagai kecelakaan, di antaranya sebagai berikut.

  1. Bauwadano Hia, karena berat badannya menyebabkan ia jatuh dan menjelma menjadi ular besar yang bernama Da’o Zamaya Tano Sisagaro sebagai pendukung bumi dan penyebab terjadinya gempa.
  2. Putra lainnya ada yang tercebur ke dalam air dan menjadi hantu sungai, dan menjadi pujaan nelayan.
  3. Ada yang tersangkut di pohon karena terbawa angin, sehingga menjadi hantu hutan, sebagai pujaan pemburu.
  4. Ada yang jatuh di tempat yang berbatu-batu di daerah Laraga dan Gunung Sitoli, kemudian menjadi leluhur orang yang berilmu kebal. 

Upacara-upacara keagamaan yang berkembang pada masyarakat Nias, antara lain sebagai berikut.

  1. Upacara selamatan Upacara selamatan di Nias, biasanya dilakukan oleh para bangsawan. Meskipun para bangsawan memiliki kekayaan yang banyak, belum bisa disebut kaya, jika belum memiliki emas dan permata. Untuk menunjukkan kekayaan, maka seorang bangsawan melakukan upacara perayaan yang disebut owasa (di Nias Utara) atau tawila (di Nias Selatan). Selanjutnya para bangsawan yang melakukan upacara tersebut akan memperoleh gelar baru dan hak-hak istimewa. Gelar baru tersebut disebut si’ulu. Adapun upacara untuk mengesahkan gelar si’ulu disebut upacara owasa. Dalam upacara owasa, martabat seseorang akan naik, jika jumlah babi yang dikorbankan sangat banyak. Selanjutnya dagingnya dibagibagikan kepada masyarakat.
  2. Upacara pembersihan dosa, Upacara pembersihan dosa dilakukan bagi orang yang melanggar aturan leluhur. Upacara pembersihan dosa dilakukan dengan membuat patung adu horo yang tinggi.