Kisah  

Akhir Hayat Penggemar Musik dan Pencinta Al-Qur’an (Bag. 1)

Tatkala
masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan
yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan
begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang.
Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang
menyengat tulang.

Aku
sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkah
sabarnya mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”


Aku
belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat
orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada
Allah.



Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang
matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu
kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.


Setelah
tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku.
Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban
sebagai orang terasing.


Di
sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu
yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh
dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.


Aku
ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga
keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. 


Pekejaan
baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan
dedikasi tinggi. 


Tetapi,
hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. 

Aku
bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas.


Aku
mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir
tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu
kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. 



Aku bosan dengan rutinitas.
Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah
kulupakan.


Ketika
itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik
ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. 



Kami
mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain
yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian
untuk menolong korban.


Kejadian
yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat
kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.


Kami
cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat
mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma.
Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.


Ucapkanlah
“Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.

Tetapi
sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu
membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang
sekarat…



Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.

Aku
diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku
belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi
seperti ini. 



Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat.
Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.   

Tak
ada gunanya…


Suara
lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak
bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal
dunia.

Kami
segera membawa mereka ke dalam mobil.


Temanku
menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan,
hening. 

Kesunyian
pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan
su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). 



Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri
hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa
yang dilakukan olehnya selama di dunia”. 



Ia bercerita panjang lebar padaku
tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga
berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa
lalunya secara lahir batin.


Perjalanan
ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian.
Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang
membawa mayat.


Tiba-tiba
aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga
bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.

Tetapi
perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.