Pelaksanaan Demokrasi Parlementer dan Terpimpin Pada Masa Orde Lama, Demokrasi Pada Masa Orde Baru dan Masa Indonesia Saat Ini

Dibawah ini akan kita bahas mengenai demokrasi, pelaksanaan demokrasi di indonesia, demokrasi di indonesia, penerapan demokrasi di indonesia, bagaimana pelaksanaan demokrasi di indonesia, pelaksanaan demokrasi pada masa orde lama, masa demokrasi parlementer, masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru, demokrasi pada masa orde baru, demokrasi di indonesia saat ini, demokrasi indonesia saat ini.

Demokrasi di Masa Orde Lama

a. Masa Demokrasi Parlementer 

Pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa kejayaan demokrasi karena hampir semua unsur demokrasi dapat ditemukan dalam perwujudannya. 

Pelaksanaan Demokrasi Parlementer dan Terpimpin Pada Masa Orde Lama, Demokrasi Pada Masa Orde Baru dan Masa Indonesia Saat Ini
Proses Pemungutan Suara di TPS

Unsur-unsur itu antara lain adalah akuntabilitas politis yang tinggi, peranan yang sangat tinggi pada parlemen, pemilu yang bebas, dan terjaminnya hak politik rakyat.

Cara kerja sistem pemerintahan parlemen, antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas;
  2. Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan, kepala pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri;
  3. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/dewan menteri, yang dipimpin oleh seorang perdana menteri-kabinet dibentuk dengan bertanggung jawab kepada DPR;
  4. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR yang dibentuk melalui pemilu multipartai. Partai politik yang menguasai mayoritas DPR membentuk kabinet sebagai penyelenggara pemerintahan negara;
  5. Apabila kabinet bubar, presiden akan menunjuk formatur kabinet untuk menyusun kabinet baru;
  6. Apabila DPR mengajukan mosi tidak percaya lagi kepada kabinet yang baru, DPR dibubarkan dan diadakan pemilihan umum;
  7. Apabila DPR menilai kinerja menteri/beberapa menteri/kabinet kurang baik, DPR dapat memberi mosi tidak percaya dan menteri, para menteri atau kabinet yang diberi mosi tidak percaya harus mengundurkan/membubarkan diri.

Hal-hal negatif yang terjadi selama berlakunya sistem parlementer adalah sebagai berikut.

1. Terjadi ketidakserasian hubungan dalam tubuh angkatan bersenjata pascaperistiwa 17 Oktober 1952, yaitu sebagian anggota ABRI condong ke kabinet Wilopo, sebagian lagi condong ke Presiden Soekarno.

2. Masa kerja rata-rata kabinet yang pendek menyebabkan banyak kebijaksanaan jangka panjang pemerintah yang tidak dapat terlaksana.

3. Telah terjadi perdebatan terbuka antara Presiden Soekarno dan tokoh Masyumi, Isa Anshory, mengenai penggantian Pancasila dengan dasar negara yang lebih Islami tentang apakah akan merugikan umat beragama lain atau tidak.

4. Masa kegiatan kampanye pemilu yang berkepanjangan mengakibatkan meningkatnya ketegangan di masyarakat.

5. Pemerintah pusat mendapat tantangan dari daerah-daerah seperti pemberontakan PRRI dan Permesta.

Selain hal-hal negatif tersebut menurut Herbert Feith juga terdapat hal-hal positif pada masa demokrasi parlementer, antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Sedikit sekali terjadi konflik di antara umat beragama.
  2. Jumlah sekolah bertambah dengan pesat yang mengakibatkan peningkatan status sosial yang cepat pula.
  3. Pers bebas sehingga banyak variasi isi media massa.
  4. DPR berfungsi dengan baik.
  5. Minoritas Tionghoa mendapat perlindungan dari pemerintah.
  6. Badan-badan peradilan menikmati kebebasan dalam menjalankan fungsinya, termasuk dalam kasus yang menyangkut pimpinan militer, menteri, dan pemimpin-pemimpin partai.
  7. Kabinet dan ABRI berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan seperti RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat.

Namun, proses demokrasi masa parlementer telah dinilai gagal dalam menjamin stabilitas politik, kelangsungan pemerintahan, dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

  1. Tidak ada anggota konstituante yang bersidang dalam menetapkan dasar negara. Hal ini memicu Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
  2. Landasan sosial ekonomi rakyat masih rendah.
  3. Dominannya politik aliran, artinya berbagai golongan politik dan partai politik sangat mementingkan kelompok atau dirinya sendiri daripada kepentingan bangsa.

b. Masa demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin muncul dari ketidaksenangan Presiden Soekarno terhadap partai-partai politik yang dinilai lebih mementingkan kepentingan partai dan ideologinya masing-masing daripada kepentingan yang lebih luas. 

Presiden Soekarno menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dan perjuangan revolusi Indonesia yang belum selesai. 

Menurut ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 pengertian dasar demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan Nasakom. 

Ciri-ciri demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut.

  1. Terbatasnya peran partai politik.
  2. Berkembangnya pengaruh PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia.
  3. Dominannya peran presiden, yaitu Presiden Soekarno, yang menentukan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pada demokrasi terpimpin terdapat penyimpangan dari prinsip negara hukum dan negara demokrasi menurut Pancasila dan UUD 1945, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pelanggaran prinsip ”kebebasan kekuasaan kehakiman”

Dalam UU No. 19 Tahun 1964 ditentukan bahwa demi kepentingan revolusi, presiden berhak untuk mencampuri proses peradilan. 

Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 sehingga mengakibatkan kekuasaan kehakiman dijadikan alat oleh pemerintah untuk menghukum pemimpin politik yang menentang kebijakan pemerintah.

2. Pengekangan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik

Hal tersebut terjadi terhadap kebebasan pers. Saat itu banyak media massa yang dibatasi dan tidak boleh menentang kebijakan pemerintah.

3. Pelampauan batas wewenang

Presiden banyak membuat penetapan yang melebihi kewenangannya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR.

4. Pembentukan lembaga negara ekstrakonstitusional

Presiden membentuk lembaga kenegaraan di luar yang disebut UUD 1945 misalnya Front Nasional yang ternyata dimanfaatkan oleh pihak komunis untuk mempersiapkan pembentukan negara komunis di Indonesia.

5. Pengutamaan fungsi presiden.

Pengutamaan fungsi presiden tampak dalam hal-hal berikut.

  • Dalam mekanisme kerja, jika MPR dan DPR, tidak berhasil mengambil putusan, persoalan tersebut diserahkan kepada presiden untuk memutuskan.
  • Pimpinan MPR, DPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya diberi kedudukan sebagai menteri sehingga mereka menjadi bawahan presiden. Padahal menurut UUD 1945 MPR adalah lembaga yang membawahkan presiden dan berkedudukan lebih tinggi dari presiden, sedangkan lembaga-lembaga negara yang lain (DPR, BPK, dan MA) sejajar dengan presiden.
  • Pembubaran DPR oleh presiden terjadi karena DPR menolak menyetujui RAPBN yang diusulkan pemerintah. Padahal UUD 1945 mengatur bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR dan jika DPR menolak anggaran yang diajukan, pemerintah menggunakan anggaran tahun sebelumnya.

Akhir dari demokrasi terpimpin berawal dari pemberontakan G 30 S/PKI, ketika Presiden Soekarno gagal dalam mempertahankan keseimbangan antara kekuatan yang ada di sisinya, yaitu PKI dan militer. 

Demokrasi terpimpin berakhir dengan ditandai oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.

2. Demokrasi di Masa Orde Baru

Pelaksanaan demokrasi selama masa demokrasi terpimpin adalah penyimpangan terhadap aturan dasar hidup bernegara (Pancasila dan UUD 1945). 

Oleh sebab itu, Pemerintahan Orde Baru mengawali jalannya pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 

Seluruh kegiatan pemerintahan negara dan hidup bermasyarakat dan berbangsa harus dijalankan sesuai dengan tata aturan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. 

Namun, dalam perkembangannya Pemerintah Orde Baru mengarah pada pemerintahan yang sentralistis. 

Lembaga kepresidenan menjadi pusat dari seluruh proses politik dan menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional, pengontrol kegiatan politik dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintah dan negara. 

Kehidupan politik di masa Orde Baru sama dengan masa Orde Lama, yaitu terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Pemberantasan hak-hak politik rakyat

Misalnya jumlah partai politik yang dibatasi hanya tiga partai politik, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Pegawai negeri dan ABRI diharuskan untuk mendukung partai penguasa, yaitu Golkar. 

Pertemuan-pertemuan politik harus mendapat izin penguasa. Ada perlakuan diskriminatif terhadap anak keturunan orang yang terlibat G 30 S/PKI . Para pengkritik pemerintah dikucilkan secara politik bahkan diculik.

b. Pemusatan kekuasaan di tangan presiden

Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara seperti MPR, DPR, dan MA. Anggota MPR yang diangkat dari ABRI berada di bawah kendali presiden, karena presiden merupakan panglima tertinggi ABRI. Selain itu, seluruh anggota DPR/MPR harus lulus penyaringan yang diadakan oleh aparat militer.

c. Pemilu yang tidak demokratis

Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali penuh dengan kecurangan dan ketidakadilan karena hak-hak parpol dan masyarakat pemilih telah dimanipulasi untuk kemenangan Golkar.

d. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

Akibat dari penggunaan kekuasaan yang terpusat dan tak terkontrol, korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. KKN telah menjerumuskan bangsa ke dalam krisis multidimensi berkepanjangan.

Pemerintahan Suharto yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil menekannya untuk mengundurkan diri sebagai presiden. 

Pernyataan pengunduran diri itu terjadi pada tanggal 21 Mei 1998. Adapun hal yang menjadi sebab-sebab kejatuhan Orde Baru adalah sebagai berikut.

  1. Terjadi krisis politik dan keruntuhan legitimasi politik. Rakyat mulai kecewa dan tidak lagi mempercayai pemerintahan Orde Baru dan mengharapkan adanya pemerintahan yang baru.
  2. Tidak bersatu lagi pilar-pilar pendukung Orde Baru. Banyak menteri yang tidak lagi mendukung pemerintahan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga tidak bersedia lagi menjadi alat kekuasaan Orde Baru.
  3. Ekonomi nasional hancur yang ditandai oleh adanya krisis mata uang dan krisis ekonomi yang tidak mampu ditanggulangi.
  4. Muncul desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi.

3. Demokrasi di Masa Kini

Mundurnya Suharto ditandai dengan naiknya B.J. Habibie sebagai presiden. B.J. Habibie menjadi presiden RI yang ke-3 menggantikan Presiden Suharto yang mengundurkan diri. 

Pergantian tersebut didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya. 

Presiden B.J. Habibie menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan transisional. Disebut masa transisi karena merupakan masa perpindahan pemerintahan yang selanjutnya akan dibentuk pemerintahan baru yang demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat. 

Antara tahun 1998 sampai tahun 1999 dianggap tahun yang penuh gejolak dan diwarnai oleh kerusuhan di beberapa daerah, antara lain konflik di Ambon dan Maluku, kerusuhan di Aceh, dan kerusuhan dan pertentangan di wilayah Timor Timur.

Pada tanggal 21 Oktober 1999, diselenggarakan pemilihan wakil presiden RI. Calonnya ialah Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan dilakukan dengan voting. 

Hasilnya diperoleh Megawati memperoleh suara terbanyak. Dengan demikian, wakil presiden RI periode 1999–2004 ialah Megawati yang dilantik pada 21 Oktober 1999. 

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan Abdurrahman Wahid beralih kepada Megawati dengan wakilnya Hamzah Haz karena adanya ketidakpuasan rakyat selama pemerintahan yang dipimpin olehnya. 

Pada tahun 2004 untuk pertama kalinya bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilu diikuti oleh 24 partai politik. 

Pemilu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pada 5 April 2004 dilaksanakan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/ kabupaten, dan DPD. 

Kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden tahap pertama. Ketiga, pada 20 September 2004 pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua. 

Hasil pemilihan tersebut menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004–2009.