Berikut ini akan dijabarkan penjelasan terkait dengan perjanjian internasional, pengertian perjanjian internasional, pengertian perjanjian internasional menurut para ahli, makna perjanjian internasional, macam macam perjanjian internasional, hukum perjanjian internasional, tahap tahap perjanjian internasional, perjanjian bilateral, penggolongan perjanjian internasional, perjanjian multilateral, tahapan perjanjian internasional, ratifikasi perjanjian internasional, tahapan tahapan perjanjian internasional, tahap pembuatan perjanjian internasional, jenis jenis perjanjian internasional.
Pengertian Perjanjian Internasional
Usaha saling menghormati, berhubungan, bekerja sama, dan hidup berdampingan secara damai antarbangsa tersebut dapat diwujudkan melalui perjanjian internasional. Para ahli memberi definisi yang beragam mengenai perjanjian internasional.
a. G. Schwarzenberger (1967)
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral ataupun multilateral.
b. Oppenheim (1996)
Perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan antarnegara, yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak.
c. Mochtar Kusumaatmadja (1982)
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
Adapun pengertian perjanjian internasional berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut.
a. Konvensi Wina 1969.
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
b. Konvensi Wina 1986.
Perjanjian internasional adalah persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional.
c. UU No. 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri.
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
d. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan hal sebagai berikut.
- Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan kesepakatan atau persetujuan.
- Subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional.
- Objek perjanjian internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional.
- Perjanjian internasional dapat berbentuk tertulis dan tidak tertulis
- Hukum yang mengatur perjanjian internasional adalah hukum internasional bukan hukum nasional
Dalam kehidupan masyarakat internasional, perjanjian internasional mempunyai fungsi yang tidak dapat diabaikan. Perjanjian internasional merupakan sarana pengembang kerja sama internasional secara damai.
Beberapa sengketa internasional dapat diselesaikan dengan sarana perjanjian internasional. Dalam praktik hubungan antarnegara, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut perjanjian internasional, antara lain treaty, konvensi, protokol, dan deklarasi.
Istilah itu masing-masing digunakan sesuai dengan petugas yang melaksanakan serta isi dari perjanjian internasional yang bersangkutan.
Misalnya, traty digunakan untuk menyebut persetujuan resmi yang multilateral atau persetujuan yang diterima oleh organ dari suatu organisasi internasional, protokol digunakan untuk menyebut persetujuan yang isinya melengkapi suatu konvensi, deklarasi seringkali digunakan dalam pengertian yang sama dengan treaty.
Pada hakikatnya hukum internasional tidak menuntut bentuk tertentu dari perjanjian internasional. Bagi hukum internasional isi dan substansi perjanjian internasional lebih penting daripada bentuknya.
Macam-Macam Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, yakni sebagai berikut.
a. Jumlah peserta, yaitu jumlah negara yang ikut serta dan mengikatkan diri pada perjanjian itu, dibedakan atas dua hal berikut.
1) Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara untuk mengatur kepentingan kedua belah pihak.
Perjanjian bilateral bersifat tertutup artinya tidak ada kemungkinan pihak atau negara lain untuk ikut serta dalam perjanjian, misalnya perjanjian antara Republik Indonesia dan Filipina tentang pemberantasan penyeludupan dan bajak laut, perjanjian antara RI dan Republik Rakyat Cina pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan.
2) Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak negara untuk mengatur kepentingan bersama negara-negara peserta perjanjian tersebut, misalnya konvensi Genewa tahun 1949 tentang perlindungan korban perang, konvensi Wina tahun 1961 tentang hubungan diplomatik.
b. Strukturnya dibedakan atas dua hal berikut.
1) Treaty contract adalah perjanjian yang hanya menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.
Misalnya adalah perjanjian ekstradisi Indonesia–Malaysia tahun 1974. Akibat-akibat yang timbul dari perjanjian ini hanya mengikat Indonesia dan Malaysia.
2) Law making treaty adalah perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua bangsa di dunia. Misalnya adalah konvensi hukum laut tahun 1958.
c. Cara berlakunya dibedakan atas dua hal berikut.
1) Self-executing, adalah perjanjian internasional yang langsung dapat berlaku sesudah diratifikasi oleh negara peserta.
2) Non self executing adalah suatu perjanjian internasional yang dapat berlaku setelah dilakukan perubahan undang-undang di negara peserta.
d. Instrumennya dibedakan atas dua hal berikut.
1) Perjanjian internasional tertulis adalah perjanjian internasional yang dituangkan dalam instrumen-instrumen pembentuk perjanjian tertulis dan formal.
Instrumen-instrumen tertulis itu, antara lain treaty, convention, agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol, dan declaration.
2) Perjanjian internasional lisan, adalah perjanjian internasional yang diekspresikan melalui instrumen-instrumen tidak tertulis. Jenis-jenis perjanjian internasional tidak tertulis, antara lain adalah sebagai berikut.
a) Perjanjian internasional tak tertulis adalah perjanjian internasional yang dilakukan secara lisan. Artinya, yang diperjanjikan adalah hal-hal yang disepakati secara lisan.
Biasanya hal-hal tersebut bukanlah hal yang rumit, melainkan materi umum atau hal yang bersifat teknis. Pengaturannya pun bersifat sederhana dan pada umumnya dibentuk secara bilateral. Perjanjian internasional lisan disebut juga gentlemen agreements.
b) Deklamasi unilateral atau deklarasi sepihak, merupakan pernyataan suatu negara yang disampaikan oleh wakil negara yang bersangkutan dan ditujukan kepada negara lain.
Deklarasi unilateral dapat menimbulkan perjanjian apabila pernyataan itu mengandung maksud untuk berjanji.
c) Persetujuan diam-diam, disebut juga persetujuan tersimpul. Perjanjian internasional ini dibuat secara tidak tegas.
Artinya, keberadaan perjanjian itu dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif, dari suatu negara atau subjek hukum internasional lainnya.
Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional
Ada variasi pendapat di antara para ahli tentang tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional, antara lain adalah sebagai berikut.
a) Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dikenal dua cara pembentukan perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut.
(1) Perjanjian internasional dibentuk melalui tiga tahap, yaitu perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.
(2) Perjanjian internasional dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.
Cara pertama biasanya diadakan untuk hal-hal penting yang memerlukan persetujuan DPR, sedangkan cara kedua dipakai untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan membutuhkan penyelesaian yang cepat.
b) Pierre Froymond menyatakan bahwa terdapat dua prosedur pembuatan perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut
(1) Prosedur normal (klasik) adalah prosedur yang mewajibkan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi.
(2) Prosedur yang disederhanakan adalah prosedur yang tidak memerlukan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul karena pengaturan hubungan internasional memerlukan penyelesaian yang lebih cepat.
Dalam pasal 11 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa presiden dengan persetujuan DPR memuat perjanjian dengan negara lain.
Jika suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau menghapuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, perjanjian tersebut harus dilakukan dengan persetujuan DPR.
Dalam pasal 4 UU No.24 tahun 2000 disebutkan bahwa pembuatan perjanjian internasional antara pemerintah RI dan negara lain dan organisasi internasional dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan dengan itikad baik.
Dalam pembuatan perjanjian internasional, pemerintah RI berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip saling menguntungkan, persamaan kedudukan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional menurut UU No.24 tahun 2000 adalah sebagai berikut.
1) Penjajakan
Penjajakan merupakan tahap awal dalam pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2) Perundingan
Pada tahap ini dilakukan pembahasan isi perjanjian dan masalah-masalah teknis yang disepakati dalam perjanjian internasional.
Dalam perjanjian bilateral perundingan dilakukan oleh kedua negara, sedangkan dalam perjanjian multilateral perundingan dilakukan melalui konferensi khusus atau dalam sidang organisasi internasional.
Penunjukan wakil suatu negara dalam suatu perundingan merupakan wewenang dari negara yang bersangkutan.
Agar tidak terjadi pengatasnamaan negara secara tidak sah, hukum internasional membuat ketentuan tentang surat kuasa penuh yang harus dimiliki oleh orang-orang yang mewakili suatu negara dalam suatu perundingan untuk mengadakan perjanjian internasional.
Berdasar hukum internasional tersebut seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan sah dan dapat mengesahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu dan/atau dapat mengesahkan suatu naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu dan/atau dapat mengikatkan negara itu pada perjanjian internasional apabila ia dapat menunjukkan surat kuasa penuh, kecuali semua peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh tidak diperlukan.
Keharusan menunjukkan surat kuasa penuh tidak berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri.
Hal itu dimungkinkan karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikatkan negaranya pada suatu perjanjian internasional yang diadakan.
Kepala perwakilan diplomatik dan wakil suatu negara yang ditunjuk untuk mewakili suatu negara pada konferensi internasional adalah pejabat yang tidak perlu memerhatikan surat kuasa penuh.
3) Perumusan Naskah Perjanjian
Pada tahap ini rancangan suatu perjanjian internasional dirumuskan.
4) Penerimaan Naskah Perjanjian
Peneriaman naskah perjanjian merupakan tindakan untuk menyetujui garisgaris besar isi perjanjian. Penerimaan perjanjian akan menghasilkan kerangka perjanjian, sebelum isi perjanjian dikemukakan secara terperinci.
Pada tahap ini telah ada keterikatan pada peserta perundingan untuk tidak mengubah lagi kerangka perjanjian yang sudah ditetapkan.
5) Penandatanganan
Penandatanganan merupakan tahap untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang sudah disepakati.
Penandatanganan perjanjian belum berarti bahwa perjanjian tersebut telah mengikat para pihak. Perjanjian itu dapat mengikat negera peserta apabila telah dilakukan pengesahan terhadap perjanjian tersebut.
6) Pengesahan Naskah Perjanjian
Pengesahan naskah perjanjian merupakan perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan, dan persetujuan.
Ratifikasi adalah pengesahan suatu perjanjian internasional oleh negara yang menandatangani perjanjian itu berdasarkan konstitusi negara yang bersangkutan.
Meskipun delegasi dari negara yang bersangkutan telah menandatangani perjanjian, negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara baru terikat pada perjanjian itu apabila naskah perjanjian itu diratifikasi.
Dasar adanya pembenaran ratifikasi antara lain adalah bahwa negara berhak untuk meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan dan bahwa negara perlu mengadakan penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.
Hukum internasional tidak diwajibkan pada negara yang perutusannya telah menandatangani hasil perundingan, menurut hukum ataupun moral, untuk meratifikasi perjanjian tersebut.
Tidak adanya kewajiban tersebut karena negara adalah suatu pihak yang berdaulat. Aksesi, adalah pernyataan bahwa negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian tidak turut menandatangani naskah perjanjian tersebut.
Penerimaan dan persetujuan, adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara peserta terhadap perjanjian internasional.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia dilakukan dengan undang-undang keputusan presiden. Pengesahan melalui undang-undang dilakukan apabila suatu perjanjian internasional berkenaan dengan:
a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,
b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI,
c) kedaulatan negara,
d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
e) pembentukan kaidah hukum baru, dan
f) pinjaman atau hibah luar negeri.
Setiap warga negara yang berdaulat memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional, tetapi dalam negara federal, negara bagian tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional, kecuali diberi wewenang oleh konstitusi negara federal.
Pada umumnya pola isi struktur perjanjian internasional adalah sebagai berikut.
a) judul
b) preambul (pembukaan)
c) klausul formal
d) pembuktian formal
e) tanda tangan delegasi
Dalam judul suatu perjanjian internasional dimuat nama convention, treaty, materi pokoknya (misalnya hubungan diplomatik dan konsuler dan biasa pula disebut nama tempat dilangsungkannya penandatanganan).
Preambul adalah bagian pokok yang memuat antara lain nama para pihak, tujuan dibuatnya perjanjian dasar atau alasan para pihak mengadakan perjanjian, nama dan identitas utusan yang berkuasa penuh.
Klausul substatif merupakan materi pokok perjanjian yang terdiri atas pasal-pasal yang merupakan bagian terpenting karena merupakan hukum positif bagi perjanjian internasional.
Klausul formal, bersifat teknis dan mengatur tanggal perjanjian, mulai berlakunya perjanjian, jangka waktu berlakunya perjanjian, ketentuan berakhirnya, perjanjian, bahasa yang dipakai, penyelesaian sengketa dan revisi perjanjian.
Pembuktian formal merupakan bagian pembenaran penandatanganan. Suatu traktat dapat berakhir karena hal-hal berikut.
(1) Tindakan peserta yang disebabkan oleh:
(a) kesepakatan para pihak untuk mengakhiri traktat
(b) pengunduran diri salah satu pihak sesuai dengan ketentuan dalam klausul.
(2) Hukum yang disebabkan oleh:
(a) salah satu pihak dalam traktat mengalami perang
(b) pada saat traktat berlaku terdapat perubahan yang berpengaruh pada isi traktat
(c) traktat yang diadakan pada jangka waktu tertentu dapat berakhir dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian itu.
Ketentuan perjanjian internasional yang baru dapat bertentangan dengan ketentuan perjanjian internasional yang lama. Jika timbul permasalahan, ketentuan hukum internasional yang manakah yang harus diberlakukan?
Penyelesaian permasalahan tersebut pada prinsipnya tunduk pada prinsip bahwa ketentuan hukum yang ditetapkan belakangan lebih diutamakan daripada ketentuan hukum yang ditetapkan dahulu, kecuali ketentuan hukum yang ditetapkan dahulu melarang ditetapkannya ketentuan yang ditetapkan belakangan.